Wacana tentang masuknya Islam ke Indonesia, masih menyisakan perdebatan
panjang di kalangan para ahli. Setidaknya ada tiga masalah pokok yang
menjadi perbedaan. Tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan
waktu kedatangannya. Berbagai teori berusaha menjawab tiga masalah pokok
ini dan nampaknya belum tuntas karena kurangnya data pendukung dari
masing-masing teori. Pula, ada kecenderungan dari teori-teori yang
menekankan salah satu aspek dan mengabaikan aspek-aspek yang lain.
Paling tidak, ada tiga teori yang dikembangkan para ahli mengenai
masuknya Islam di Indonesia: “Teori Gujarat”, “Teori Persia”, dan “Teori
Arabia”. Teori Gujarat dianut oleh kebanyakan ahli dari Belanda.
Penganut teori ini memegang keyakinan bahwa asal muasal Islam di
Indonesia dari Anak Benua India, bukan dari Persia atau Arabia.
Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel dari
Universitas Leiden, Belanda. Menurut Pijnappel, aorang-orang Arab yang
bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India kemudian
membawa Islam ke Indonesia. (Azra, 1998: 24)
Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Teori ini lebih
menitikberatkan pandangannya ke Gujarat sebagai asal berdasarkan:
Pertama, kurangya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam
penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kedua, hubungan dagang
Indonesia-India telah lama terjalin lama. Ketiga, inskripsi tertua
tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan
antara Sumatera dengan Gujarat. (Suryanegara, 1998: 75)
Pandangan Snouck Hurgronje yang demikian ini mempunyai pengaruh yang
besar terhadap para sejarawan Barat dan berpengaruh juga terhadap
sejarawan Indonesia. Sampai hari ini kita masih mendapati buku terbaru
yang menyebut Gujarat sebagai asal masuknya agama Islam ke Nusantara.
Sejalan dengan pendapat di atas ini, Moquette, seorang sarjana Belanda.
Ia mendasarkan kesimpulannya setelah mengamati bentuk batu nisan di
Pasai, kawasan utara Sumatera yang bertanggal 17 Dzulhijjah 1831 H/27
September 1428. Batu nisan yang mirip ditemukan di makam Maulana Malik
Ibrahim (w.1822/1419) di Gresik, Jawa Timur.
Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa batu
nisan di Cambay, Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal tetapi
juga untuk diekspor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa.
Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang
Indonesia juga mengambil Islam dari sana. (Azra,1998:24-25)
Sarjana Belanda lainnya, W.F. Stuterheim menyatakan masuknya agama Islam
ke Nusantra pada abad ke-13 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada bukti
batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik
Al-Saleh pada tahun 1297. Selanjutnya tentang asal negara yang
mempengaruhi masuknya Islam ke Indonesia adalah Gujarat dengan alasan
bahwa Islam disebarkan melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay
(India)-Timur Tengah–Eropa. Di samping itu, Stuterheim memperkuat
alasannya bahwa relief batu nisan Sultan Malik Al-Saleh bersifat
Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan batu nisan di Gujarat.
(Suryanegara,1998: 76).
Dengan demikian, dari pandangan para ahli di atas, baik Pijnapel,
Hurgronje, Moquette, maupun Stutterheim, dapat disimpulkan bahwa Islam
masuk ke Indonesia dari Gujarat India pada abad XIII-XIV Masehi melalui
jalur perdagangan.
Masih dalam konteks Teori Gujarat, J.C. Van Leur menyatakan bahwa pada
tahun 674 M di pantai barat Sumatera telah terdapat perkampungan Islam.
Dengan pertimbangan bahwa bangsa Arab telah mendirikan perkampungan di
Kanton pada abad IV M. Perkampungan ini mulai dibicarakan lagi pada
tahun 618 dan 626. Pada perkembangan selanjutnya, perkampungan ini
ternyata mempraktekkan ajaran Islam seperti yang terdapat di sepanjang
jalan perdagangan Asia Tenggara. (Suryanegara, ibid.)
Berdasarkan keterangan Van Leur, disimpulkan bahwa masuknya Islam ke
Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan pada Abad ke-7.
Sedangkan Abad ke-13 adalah masa perkembangan Islam. Perluasan lebih
lanjut terjadi pada abad ke-16, sebagai akibat perubahan politik di
India.
Perkembangan Islam pada abad XIII sebagai akibat terjadinya jalur
perdagangan, yang tadinya melalui Selat Sunda, berubah melewati selat
Malaka. Perubahan mempengaruhi timbulnya pusat perdagangan di selat
Malaka. Perluasan lebih lanjut ditunjang oleh perubahan politik di
India, yakni runtuhnya kekuasaan Brahmana yang digantikan kekuatan
Mongol (1526 M) dan diikuti jatuhnya kerajaan Vijayanagar (1556).
Perubahan politik inilah yang mempengaruhi perkembangan Islam di
Indonesia. (Suryanegara, 1998: 77).
Pandangan Van Leur mempunyai kesamaan dengan pendapat TW Arnold tentang
waktu masuknya Islam ke Indonesia, yaitu pada abad VII. Tetapi, Van Leur
tidak dapat melepaskan pandangan bahwa Islam masuk Indonesia dari
India, seperti pandangan para ahli sebelumnya. Di samping itu, mereka
mengakui adanya bangsa Arab yang membawa Islam. (Suryanegara, ibid.).
Leur juga menginformasikan bahwa motivasi para bupati masuk Islam adalah
untuk mempertahankan kekuasaanya. Dengan demikian, informasi ini
memberikan gambaran bahwa sebelumnya Islam telah menjadi agama rakyat
yang kemudian disusul oleh para penguasa. Dengan demikian, kajian
tentang awal masuknya Islam ke Indonesia mestinya tidak didasarkan
kepada saat timbulnya kekuasaan politik, tapi perlu juga memperhatikan
perkembangan Islam di tengah masyarakat. (Suryanegara, ibid.)
Tetapi, pada umumnya para penulis memusatkan perhatiannya pada awal
timbulnya kekusaan politik. Bernard Vlekke misalnya. Berdasarkan laporan
Marcopolo yang pernah singgah di Sumatera pada tahun 1929, digambarkan
bahwa situasi di ujung utara Sumatera, daerah Perlak (Aceh) penduduknya
telah memeluk agama Islam. Vlekke menandaskan bahwa Perlak adalah
sat-satunya daerah Islam di Indonesa waktu itu.
Dari berbagai argumen teori Gujarat di atas, analisis para ahli
kebanyakan bersifat India-Hindisentris, sehingga seluruh perubahan
sosial-politik di India mempengaruhi langsung sosial-politik di
Indoensia. Teori ini tentunya memiliki kelemahan dan menuai kritik dari
para ahli yang lain.
SQ Fatimi, misalnya, menyatakan bahwa argumen yang mengaitkan seluruh
batu nisan di Pasai --termasuk batu nisan Malik Al-Saleh dengan batu
nisan di Gujarat, diragukan. Menurut penelitiannya, batu nisan Malik
Al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Batu nisan
tersebut justeru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena
itu seluruh batu nisan itu pasti didatangkan dari sana. Dengan demikian
Islam masuk ke Indonesia dari Bengal. Namun pendapat ini dipersoalkan
berkenaan dengan perbedaan mazhab. Muslim Indonesia bermazhab Syafi’i,
sementara muslim di Bengal bermazhab Hanafi. (Azra, 25).
Pengkritik teori Gujarat lain adalah Morisson yang menyatakan bahwa
meski batu-batu nisan yang ada di Nusantara diimpor dari Gujarat, bukan
berarti Islam berasal dari sana. Morisson mematahkan teori ini dengan
data sejarah. Raja Samudera Pasai yang melakukan Islamisasi di Pasai
wafat pada tahun 1297. Padahal, Gujarat saat itu masih merupakan
kerajaan Hindu, dan baru pada tahun 1298 ditaklukkan oleh penguasa
muslim. Menurut Morrison, Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13
dari Corromandel (India Timur). (Azra, 26).
Pandangan ini nampaknya sejalan dengan T.W. Arnold, yang berargumen
bahwa Islam Indonesia berasal dari Coromandel dan Malabar. Hal ini
disokong oleh kenyataan bahwa kedua wilayah itu mempunyai kesamaan
mazhab, yakni Syafi’i. Tetapi perlu juga dicatat, menurut Arnold,
Coromadel dan Malabar, bukan satu-satunya asal Islam dibawa ke
Nusantara, tetapi juga Arabia pada awal abad VII M. (Azra Ibid., 26-27.)
Teori kedua tentang masuknya Islam di Indonesia adalah teori Persia.
Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesin Djajadiningrat. Teori ini
menitikberatkan pandangannya pada kesamaan kebudayaan masyarakat
Indonesia dengan Persia. Pandangan ini agak mirip dengan pandangan
Morrison yang melihat persoalan masuknya Islam di Indonesia dari sisi
kesamaan mazhab, meski berbeda asal muasalnya.
Kesamaan kebudayan yang dimaksud dalam teori Persia ini adalah: Pertama,
peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah
terhadap syahidnya Husain. Peringtan ini ditandai dengan pembuatan bubur
Syura. Di Minangkabau bulan Muharam dinamakan bulan Hasan-Husein. Di
Bengkulu ada tradisi Tabut, dengan mengarak keranda Husein untuk
dilemparkan ke sungai atau perairan lainnya. Kedua, ada kesaman ajaran
wahdatul wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan ajaran sufi
Persia, Al-Hallaj (w.922 M). Ketiga, pengunaan istilah Persia dalam
tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran, seperti jabar (Arab:
fathah), huruf sin tidak bergigi (Arab: bergigi). Keempat, nisan Malik
Al-Saleh dan Maulana Malik Ibrahim dipesan dari Gujarat. Argumen ini
sama persis dengan argumen teori Gujarat. Kelima, pengakuan umat Islam
Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i sama dengan mazhab muslim
Malabar. Argumen ini sama dengan argumen Morisson. Pandangan ini agak
ambigu karena di satu sisi ia menekankan kesamaan budaya Islam Indonesia
dengan Persia, tetapi di sisi lain dalam hal pandangan mazhab ia
terhenti sampai di Malabar, tidak sampai ke Mekkah, pusat mazhab
Syafi’i. (Suryanegara, 91)
Menjawab teori Persia ini, K.H. Saifuddin Zuhri, seorang intelektual
islam dan Mantan menteri Agama RI, menyatakan sukar menerima pendapat
bahwa Islam datang ke Indonesia dari Persia, apalagi bila berpedoman
bahwa Islam masuk sejak abad VII, yang berarti pada masa Bani Umayyah.
Saat itu tampuk kekuasaan politik dipegang oleh bangsa Arab dan pusat
peradaban Islam berkisar di Mekah, Madinah, Damaskus, dan Bagdad. Tidak
mungkin Islam Indonesia berasal dari Persia mengingat zaman itu Islam
juga baru masuk ke Persia. (Suryanegara, 91.)
Dengan demikian teori Persia ini memiliki aspek-aspek kelemahan yang
akan dijawab oleh teori ketiga, yakni teori Arabia. Teori ini sebenarnya
merupakan koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori
Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold,
Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, Naquib Al-Attas, A. Hasymi, dan
Hamka. Kedua terakhir adalah ahli dari Indonesia.
Arnold menyatakan bahwa para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika
mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah,
atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan
sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam
penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila
mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada
akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi
pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka
bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian
membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga
melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan
kitab `Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya eksistensi komunitas
muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X.
Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari
Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur India
juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab
kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman dan De
Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir.
Pembela gigih teori Arabia lain adalah Naquib Al-Attas. Ia menolak
temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat
sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu
diimpor dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih
dekat dibanding dengan Arabia. Menurut Al-Attas, bukti paling penting
yang perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah
karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut dengan “teori umum
tentang Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada literatur Nusantara
dan pandangan dunia Melayu. (Azra,28).
Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan
tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang
dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau
Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal
dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar
pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab
atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India,
tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil,
dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan
mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan
India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari
mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri
tegas Arab. (Attas, 1990:53-54)
Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan
historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat
Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan
interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia. (Azra, 30).
Penggagas Teori Arabia lain adalah Hamka. Dalam pidatonya dalam Dies
Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta
pada tahun 1958 ia juga melakukan koreksi “keras” terhadap Teori
Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa Islam
berasal langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya
kembali pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20
Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih
mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di
Indonesia. Menurutnya, Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan
Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan
ajaran. (Suryanegara, 81-82).
Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi’i yang
istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya,
hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama
dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke
Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat
dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan
Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara
jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad VII. (Ibid. 82)
Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan Al-Attas yang
menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak
menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum
Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang tidak
dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila
dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind
(India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk
wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan Arnold,
tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan
Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti
disebutkan Arnold dan Van Leur.
Hamka juga menolak teori Persia yang mendasarkan diri pada persamaan
budaya Indonesia dengan Persia. Tradisi Tabut, misalnya, menurut Hamka,
bukan berarti menujukkan bahwa Islam Indonesia bercorak Syi’ah dari
Persia, karena Muslim di Indonesia yang bukan Syi’ah umumnya juga
menghormati Hasan-Husein, meski bukan berarti Hamka menafikan pengaruh
Syi’ah atau Persia di Indonesia, terutama pada bidang tasawuf.
(Suryanegara, ibid., h. 92).
Dari uraian ketiga teori di atas dapat dilihat segi-segi persamaan dan
perbedaan dari masing-masing teori. Teori Gujarat dan Persia memiliki
persamaan pandangan mengenai masuknya Islam ke Nusantara yang berasal
dari Gujarat. Perbedaanya terletak pada teori Gujarat dan
mempersandingkan dengan ajaran mistik India. Teori Persia juga memandang
adanya kesamaan mistik muslim Indonesia dengan ajaran mistik Persia.
Gujarat dipandang sebagai daerah yang dipengaruhi Persia, dan menjadi
tempat singgah ajaran Syi’ah ke Indonesia.
Dalam hal memandang Gujarat sebagai tempat singgah (transit) bukan
pusat, sependapat dengan Teori Arabia/Mekah. Tetapi teori Mekah
memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perdagagan laut
antara Indonesia dan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya
dari Mekah atau dari Mesir.
Teori Gujarat tidak melihat peranan bangsa Arab dalam perdagangan
ataupun dalam penyebaran agama islam ke Indonesia. Teori ini lebih
melihat peranan pedagang India yang beragama Islam dari pada bangsa Arab
yang membawa ajaran Islam. Oleh karena itu berdasarkan skripsi tertua
dan laporan Marcopolo, ditetapkan daerah Islam pertama di Nusantara
adalah Samudera Pasai, dan waktunya pada abad ke-13.
Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan pendapat bahwa agama Islam
masuk ke Nusantara pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam pada
abad 13 di Sumatera dengan pusatnya di Samudera Pasai.
Kebalikannya adalah teori Arabia/Mekah yang tidak dapat menerima abad 13
sebagai awal masuknya islam ke Indonesia yang didasarkan pada
berdirinya kerajaan Islam. Sedangkan masuknya Islam ke Nusantara terjadi
pada abad ke-7. Dasar argumennya bertolak dari besarnya pengaruh mazhab
Syafi’i di Indonesia.
Sekalipun teori Persia juga membicarakan masalah pengaruh mazhab Syafi’i
di Indoensia, tetapi hal itu juga dijadikan argumen besarnya pengaruh
India atas Indonesia. Pandangan teori Persia dengan melihat mazhab
Syafi’i di Indonesia sebagai pengaruh yang berkembang luas di Malabar.
Dari Malabar inilah mazhab Syafi’i dibawa oleh pedagang India ke
Indonesia.
Mempertimbangkan diskusi di atas mungkin dapat diambil kesimpulan bahwa
Islam sudah diperkenalkan dan ada di Indonesia sejak abad ke-7 Masehi
atau abad pertama Hijriah, namun perkembangan yang lebih massif baru
terlihat pada abad 12 dan 16. Adapun pembawa dan penyebar yang paling
dominan adalah bangsa Arab, baru kemudian orang Persia dan India.
Demikian pula asalnya, adalah Arabia yang kemudian dibumbui warna Persia
dan India. Penyebaran itu pertama kali dilakukan di pesisir utara
Sumatera (Aceh), karena posisi selat Malaka merupakan jalur perdagangan
penting dunia, dan kemudian menyebar ke daerah yang lebih timur dan
utara, seperti Jawa (1450), Kalimantan (1580), Maluku (1490), Sulawesi
(1600), Sulu (1450) dan Filipina Selatan (1480). (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar