Wacana tentang masuknya Islam ke Indonesia, masih menyisakan perdebatan
panjang di kalangan para ahli. Setidaknya ada tiga masalah pokok yang
menjadi perbedaan. Tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan
waktu kedatangannya. Berbagai teori berusaha menjawab tiga masalah pokok
ini dan nampaknya belum tuntas karena kurangnya data pendukung dari
masing-masing teori. Pula, ada kecenderungan dari teori-teori yang
menekankan salah satu aspek dan mengabaikan aspek-aspek yang lain.
Paling tidak, ada tiga teori yang dikembangkan para ahli mengenai
masuknya Islam di Indonesia: “Teori Gujarat”, “Teori Persia”, dan “Teori
Arabia”. Teori Gujarat dianut oleh kebanyakan ahli dari Belanda.
Penganut teori ini memegang keyakinan bahwa asal muasal Islam di
Indonesia dari Anak Benua India, bukan dari Persia atau Arabia.
Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel dari
Universitas Leiden, Belanda. Menurut Pijnappel, aorang-orang Arab yang
bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India kemudian
membawa Islam ke Indonesia. (Azra, 1998: 24)
Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Teori ini lebih
menitikberatkan pandangannya ke Gujarat sebagai asal berdasarkan:
Pertama, kurangya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam
penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kedua, hubungan dagang
Indonesia-India telah lama terjalin lama. Ketiga, inskripsi tertua
tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan
antara Sumatera dengan Gujarat. (Suryanegara, 1998: 75)
Pandangan Snouck Hurgronje yang demikian ini mempunyai pengaruh yang
besar terhadap para sejarawan Barat dan berpengaruh juga terhadap
sejarawan Indonesia. Sampai hari ini kita masih mendapati buku terbaru
yang menyebut Gujarat sebagai asal masuknya agama Islam ke Nusantara.
Sejalan dengan pendapat di atas ini, Moquette, seorang sarjana Belanda.
Ia mendasarkan kesimpulannya setelah mengamati bentuk batu nisan di
Pasai, kawasan utara Sumatera yang bertanggal 17 Dzulhijjah 1831 H/27
September 1428. Batu nisan yang mirip ditemukan di makam Maulana Malik
Ibrahim (w.1822/1419) di Gresik, Jawa Timur.
Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa batu
nisan di Cambay, Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal tetapi
juga untuk diekspor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa.
Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang
Indonesia juga mengambil Islam dari sana. (Azra,1998:24-25)
Sarjana Belanda lainnya, W.F. Stuterheim menyatakan masuknya agama Islam
ke Nusantra pada abad ke-13 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada bukti
batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik
Al-Saleh pada tahun 1297. Selanjutnya tentang asal negara yang
mempengaruhi masuknya Islam ke Indonesia adalah Gujarat dengan alasan
bahwa Islam disebarkan melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay
(India)-Timur Tengah–Eropa. Di samping itu, Stuterheim memperkuat
alasannya bahwa relief batu nisan Sultan Malik Al-Saleh bersifat
Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan batu nisan di Gujarat.
(Suryanegara,1998: 76).
Dengan demikian, dari pandangan para ahli di atas, baik Pijnapel,
Hurgronje, Moquette, maupun Stutterheim, dapat disimpulkan bahwa Islam
masuk ke Indonesia dari Gujarat India pada abad XIII-XIV Masehi melalui
jalur perdagangan.
Masih dalam konteks Teori Gujarat, J.C. Van Leur menyatakan bahwa pada
tahun 674 M di pantai barat Sumatera telah terdapat perkampungan Islam.
Dengan pertimbangan bahwa bangsa Arab telah mendirikan perkampungan di
Kanton pada abad IV M. Perkampungan ini mulai dibicarakan lagi pada
tahun 618 dan 626. Pada perkembangan selanjutnya, perkampungan ini
ternyata mempraktekkan ajaran Islam seperti yang terdapat di sepanjang
jalan perdagangan Asia Tenggara. (Suryanegara, ibid.)
Berdasarkan keterangan Van Leur, disimpulkan bahwa masuknya Islam ke
Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan pada Abad ke-7.
Sedangkan Abad ke-13 adalah masa perkembangan Islam. Perluasan lebih
lanjut terjadi pada abad ke-16, sebagai akibat perubahan politik di
India.
Perkembangan Islam pada abad XIII sebagai akibat terjadinya jalur
perdagangan, yang tadinya melalui Selat Sunda, berubah melewati selat
Malaka. Perubahan mempengaruhi timbulnya pusat perdagangan di selat
Malaka. Perluasan lebih lanjut ditunjang oleh perubahan politik di
India, yakni runtuhnya kekuasaan Brahmana yang digantikan kekuatan
Mongol (1526 M) dan diikuti jatuhnya kerajaan Vijayanagar (1556).
Perubahan politik inilah yang mempengaruhi perkembangan Islam di
Indonesia. (Suryanegara, 1998: 77).
Pandangan Van Leur mempunyai kesamaan dengan pendapat TW Arnold tentang
waktu masuknya Islam ke Indonesia, yaitu pada abad VII. Tetapi, Van Leur
tidak dapat melepaskan pandangan bahwa Islam masuk Indonesia dari
India, seperti pandangan para ahli sebelumnya. Di samping itu, mereka
mengakui adanya bangsa Arab yang membawa Islam. (Suryanegara, ibid.).
Leur juga menginformasikan bahwa motivasi para bupati masuk Islam adalah
untuk mempertahankan kekuasaanya. Dengan demikian, informasi ini
memberikan gambaran bahwa sebelumnya Islam telah menjadi agama rakyat
yang kemudian disusul oleh para penguasa. Dengan demikian, kajian
tentang awal masuknya Islam ke Indonesia mestinya tidak didasarkan
kepada saat timbulnya kekuasaan politik, tapi perlu juga memperhatikan
perkembangan Islam di tengah masyarakat. (Suryanegara, ibid.)
Tetapi, pada umumnya para penulis memusatkan perhatiannya pada awal
timbulnya kekusaan politik. Bernard Vlekke misalnya. Berdasarkan laporan
Marcopolo yang pernah singgah di Sumatera pada tahun 1929, digambarkan
bahwa situasi di ujung utara Sumatera, daerah Perlak (Aceh) penduduknya
telah memeluk agama Islam. Vlekke menandaskan bahwa Perlak adalah
sat-satunya daerah Islam di Indonesa waktu itu.
Dari berbagai argumen teori Gujarat di atas, analisis para ahli
kebanyakan bersifat India-Hindisentris, sehingga seluruh perubahan
sosial-politik di India mempengaruhi langsung sosial-politik di
Indoensia. Teori ini tentunya memiliki kelemahan dan menuai kritik dari
para ahli yang lain.
SQ Fatimi, misalnya, menyatakan bahwa argumen yang mengaitkan seluruh
batu nisan di Pasai --termasuk batu nisan Malik Al-Saleh dengan batu
nisan di Gujarat, diragukan. Menurut penelitiannya, batu nisan Malik
Al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Batu nisan
tersebut justeru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena
itu seluruh batu nisan itu pasti didatangkan dari sana. Dengan demikian
Islam masuk ke Indonesia dari Bengal. Namun pendapat ini dipersoalkan
berkenaan dengan perbedaan mazhab. Muslim Indonesia bermazhab Syafi’i,
sementara muslim di Bengal bermazhab Hanafi. (Azra, 25).
Pengkritik teori Gujarat lain adalah Morisson yang menyatakan bahwa
meski batu-batu nisan yang ada di Nusantara diimpor dari Gujarat, bukan
berarti Islam berasal dari sana. Morisson mematahkan teori ini dengan
data sejarah. Raja Samudera Pasai yang melakukan Islamisasi di Pasai
wafat pada tahun 1297. Padahal, Gujarat saat itu masih merupakan
kerajaan Hindu, dan baru pada tahun 1298 ditaklukkan oleh penguasa
muslim. Menurut Morrison, Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13
dari Corromandel (India Timur). (Azra, 26).
Pandangan ini nampaknya sejalan dengan T.W. Arnold, yang berargumen
bahwa Islam Indonesia berasal dari Coromandel dan Malabar. Hal ini
disokong oleh kenyataan bahwa kedua wilayah itu mempunyai kesamaan
mazhab, yakni Syafi’i. Tetapi perlu juga dicatat, menurut Arnold,
Coromadel dan Malabar, bukan satu-satunya asal Islam dibawa ke
Nusantara, tetapi juga Arabia pada awal abad VII M. (Azra Ibid., 26-27.)
Teori kedua tentang masuknya Islam di Indonesia adalah teori Persia.
Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesin Djajadiningrat. Teori ini
menitikberatkan pandangannya pada kesamaan kebudayaan masyarakat
Indonesia dengan Persia. Pandangan ini agak mirip dengan pandangan
Morrison yang melihat persoalan masuknya Islam di Indonesia dari sisi
kesamaan mazhab, meski berbeda asal muasalnya.
Kesamaan kebudayan yang dimaksud dalam teori Persia ini adalah: Pertama,
peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah
terhadap syahidnya Husain. Peringtan ini ditandai dengan pembuatan bubur
Syura. Di Minangkabau bulan Muharam dinamakan bulan Hasan-Husein. Di
Bengkulu ada tradisi Tabut, dengan mengarak keranda Husein untuk
dilemparkan ke sungai atau perairan lainnya. Kedua, ada kesaman ajaran
wahdatul wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan ajaran sufi
Persia, Al-Hallaj (w.922 M). Ketiga, pengunaan istilah Persia dalam
tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran, seperti jabar (Arab:
fathah), huruf sin tidak bergigi (Arab: bergigi). Keempat, nisan Malik
Al-Saleh dan Maulana Malik Ibrahim dipesan dari Gujarat. Argumen ini
sama persis dengan argumen teori Gujarat. Kelima, pengakuan umat Islam
Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i sama dengan mazhab muslim
Malabar. Argumen ini sama dengan argumen Morisson. Pandangan ini agak
ambigu karena di satu sisi ia menekankan kesamaan budaya Islam Indonesia
dengan Persia, tetapi di sisi lain dalam hal pandangan mazhab ia
terhenti sampai di Malabar, tidak sampai ke Mekkah, pusat mazhab
Syafi’i. (Suryanegara, 91)
Menjawab teori Persia ini, K.H. Saifuddin Zuhri, seorang intelektual
islam dan Mantan menteri Agama RI, menyatakan sukar menerima pendapat
bahwa Islam datang ke Indonesia dari Persia, apalagi bila berpedoman
bahwa Islam masuk sejak abad VII, yang berarti pada masa Bani Umayyah.
Saat itu tampuk kekuasaan politik dipegang oleh bangsa Arab dan pusat
peradaban Islam berkisar di Mekah, Madinah, Damaskus, dan Bagdad. Tidak
mungkin Islam Indonesia berasal dari Persia mengingat zaman itu Islam
juga baru masuk ke Persia. (Suryanegara, 91.)
Dengan demikian teori Persia ini memiliki aspek-aspek kelemahan yang
akan dijawab oleh teori ketiga, yakni teori Arabia. Teori ini sebenarnya
merupakan koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori
Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold,
Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, Naquib Al-Attas, A. Hasymi, dan
Hamka. Kedua terakhir adalah ahli dari Indonesia.
Arnold menyatakan bahwa para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika
mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah,
atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan
sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam
penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila
mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada
akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi
pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka
bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian
membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga
melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan
kitab `Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya eksistensi komunitas
muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X.
Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari
Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur India
juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab
kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman dan De
Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir.
Pembela gigih teori Arabia lain adalah Naquib Al-Attas. Ia menolak
temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat
sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu
diimpor dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih
dekat dibanding dengan Arabia. Menurut Al-Attas, bukti paling penting
yang perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah
karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut dengan “teori umum
tentang Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada literatur Nusantara
dan pandangan dunia Melayu. (Azra,28).
Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan
tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang
dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau
Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal
dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar
pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab
atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India,
tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil,
dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan
mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan
India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari
mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri
tegas Arab. (Attas, 1990:53-54)
Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan
historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat
Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan
interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia. (Azra, 30).
Penggagas Teori Arabia lain adalah Hamka. Dalam pidatonya dalam Dies
Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta
pada tahun 1958 ia juga melakukan koreksi “keras” terhadap Teori
Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa Islam
berasal langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya
kembali pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20
Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih
mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di
Indonesia. Menurutnya, Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan
Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan
ajaran. (Suryanegara, 81-82).
Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi’i yang
istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya,
hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama
dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke
Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat
dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan
Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara
jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad VII. (Ibid. 82)
Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan Al-Attas yang
menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak
menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum
Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang tidak
dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila
dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind
(India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk
wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan Arnold,
tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan
Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti
disebutkan Arnold dan Van Leur.
Hamka juga menolak teori Persia yang mendasarkan diri pada persamaan
budaya Indonesia dengan Persia. Tradisi Tabut, misalnya, menurut Hamka,
bukan berarti menujukkan bahwa Islam Indonesia bercorak Syi’ah dari
Persia, karena Muslim di Indonesia yang bukan Syi’ah umumnya juga
menghormati Hasan-Husein, meski bukan berarti Hamka menafikan pengaruh
Syi’ah atau Persia di Indonesia, terutama pada bidang tasawuf.
(Suryanegara, ibid., h. 92).
Dari uraian ketiga teori di atas dapat dilihat segi-segi persamaan dan
perbedaan dari masing-masing teori. Teori Gujarat dan Persia memiliki
persamaan pandangan mengenai masuknya Islam ke Nusantara yang berasal
dari Gujarat. Perbedaanya terletak pada teori Gujarat dan
mempersandingkan dengan ajaran mistik India. Teori Persia juga memandang
adanya kesamaan mistik muslim Indonesia dengan ajaran mistik Persia.
Gujarat dipandang sebagai daerah yang dipengaruhi Persia, dan menjadi
tempat singgah ajaran Syi’ah ke Indonesia.
Dalam hal memandang Gujarat sebagai tempat singgah (transit) bukan
pusat, sependapat dengan Teori Arabia/Mekah. Tetapi teori Mekah
memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perdagagan laut
antara Indonesia dan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya
dari Mekah atau dari Mesir.
Teori Gujarat tidak melihat peranan bangsa Arab dalam perdagangan
ataupun dalam penyebaran agama islam ke Indonesia. Teori ini lebih
melihat peranan pedagang India yang beragama Islam dari pada bangsa Arab
yang membawa ajaran Islam. Oleh karena itu berdasarkan skripsi tertua
dan laporan Marcopolo, ditetapkan daerah Islam pertama di Nusantara
adalah Samudera Pasai, dan waktunya pada abad ke-13.
Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan pendapat bahwa agama Islam
masuk ke Nusantara pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam pada
abad 13 di Sumatera dengan pusatnya di Samudera Pasai.
Kebalikannya adalah teori Arabia/Mekah yang tidak dapat menerima abad 13
sebagai awal masuknya islam ke Indonesia yang didasarkan pada
berdirinya kerajaan Islam. Sedangkan masuknya Islam ke Nusantara terjadi
pada abad ke-7. Dasar argumennya bertolak dari besarnya pengaruh mazhab
Syafi’i di Indonesia.
Sekalipun teori Persia juga membicarakan masalah pengaruh mazhab Syafi’i
di Indoensia, tetapi hal itu juga dijadikan argumen besarnya pengaruh
India atas Indonesia. Pandangan teori Persia dengan melihat mazhab
Syafi’i di Indonesia sebagai pengaruh yang berkembang luas di Malabar.
Dari Malabar inilah mazhab Syafi’i dibawa oleh pedagang India ke
Indonesia.
Mempertimbangkan diskusi di atas mungkin dapat diambil kesimpulan bahwa
Islam sudah diperkenalkan dan ada di Indonesia sejak abad ke-7 Masehi
atau abad pertama Hijriah, namun perkembangan yang lebih massif baru
terlihat pada abad 12 dan 16. Adapun pembawa dan penyebar yang paling
dominan adalah bangsa Arab, baru kemudian orang Persia dan India.
Demikian pula asalnya, adalah Arabia yang kemudian dibumbui warna Persia
dan India. Penyebaran itu pertama kali dilakukan di pesisir utara
Sumatera (Aceh), karena posisi selat Malaka merupakan jalur perdagangan
penting dunia, dan kemudian menyebar ke daerah yang lebih timur dan
utara, seperti Jawa (1450), Kalimantan (1580), Maluku (1490), Sulawesi
(1600), Sulu (1450) dan Filipina Selatan (1480). (***)
Kamis, 16 April 2015
Sejarah Kedatangan Islam Di Indonesia
KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA
Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah urusan mudah. Tak banyak jejak yang bisa dilacak. Ada
beberapa pertanyaan awal yang bisa diajukan untuk menelusuri kedatangan
Islam di Indonesia. Beberapa pertanyaan itu adalah, darimana Islam
datang? Siapa yang membawanya dan kapan kedatangannya?
Ada
beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh
sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri.
Setidaknya ada beberapa teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur
Jauh termasuk ke Nusantara.
1. Teori Pertama,
diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia
dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat,
Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara.
Dalam
L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut
didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab
yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13.
Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah
terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.
2. Teori kedua, adalah
Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam
datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki
oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia.
Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari
peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di
beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti
keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung
lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang
dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang
lainnya.
Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai.
Kedua
teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari teori
ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang
masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu
kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal
abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada
awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam
sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar
bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali
sebagai amirul mukminin.
A. Kondisi Dan Situasi Politik Kerajaan-Kerajaan di Indonesia
Lambat
laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara
besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara,
adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah
kerajaan Islam pertama di Indonesia
berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat
persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab
yang menyebarkan Islam.
Begitu
pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang
ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh
telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum
Muslimin yang ditemukan di Indonesia
terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah
satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti
Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru
pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal.
Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara
secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum
Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai
dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh
Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa
kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra
Islam dan para pendatang Arab.
Pesatnya
Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh
surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di
Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam
mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti
halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan
jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan
politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar
menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan
masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya
pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini,
perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin
erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang
terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut,
migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah
Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan
dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan
dengan pusat dunia Islam seakan terputus.
Terutama
di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin
Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena
berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali
para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di
Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang
kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui
mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat
Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun.
Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan
akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran
antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak
awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan
subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk
menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan
ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang
Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu
daerah. Dalam memerangi Islam mereka
bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu /
Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin,
maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin
kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah
pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah
pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu
membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M.
Pertempuran
besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah
Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan
gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan
Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru
di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan
kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum
muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam
tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami
keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada
kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra
Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah
terjangkiti gaya hidup Eropa.
Kondisi
seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal
ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang
penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan
tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit
melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil
ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan
syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda.
Sejak
perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka
(Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar,
Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon
(Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol),
dan Perang Aceh (Teuku Umar).
B. Munculnya Pemukiman-Pemukiman di Kota Pesisir
Sumber-sumber
literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah
berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di
perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan
menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.
Kian
tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke
wilayah Nusantara. Seperti pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17
duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta
ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa
perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.
Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya.
Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan
Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina
tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.
Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau
menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan
tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah
salah satu jejak Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara.
Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai-Aceh menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam sejarah.
Selain
di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu yang
bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah Umat Islam
mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari orang-orang Ta
Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri
Muawiyah bin Abu Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke Pulau
Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar sebagai
pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu.
Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga
dan melakukan pengamatan. Maka, bisa dibilang Islam merambah tanah Jawa
pada abad awal perhitungan hijriah. Jika demikian, maka tak heran pula
jika tanah Jawa menjadi kekuatan Islam yang cukup besar dengan Kerajaan Giri, Demak, Pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon.
Proses
dakwah yang panjang, yang salah satunya dilakukan oleh Wali Songo atau
Sembilan Wali adalah rangkaian kerja sejak kegiatan observasi yang
pernah dilakukan oleh sahabat Muawiyah bin Abu Sofyan.
Peranan
Wali Songo dalam perjalanan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa sangatlah
tidak bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan
pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang
berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal
memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa.
Sebelum Demak
berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang nama aslinya
Maulana Ainul Yaqin, telah membangun wilayah tersendiri di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur.
Wilayah ini dibangun menjadi sebuah kerajaan agama dan juga pusat
pengkaderan dakwah. Dari wilayah Giri ini pula dihasilkan
pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke Nusatenggara dan wilayah Timur
Indonesia lainnya.
C. Cara Islamisasi Di Indonesia
Perjalanan dakwah awal Islam di Nusantara tak terbatas hanya di Sumatera atau Jawa saja. Hampir seluruh sudut kepulauan Indonesia telah tersentuh oleh indahnya konsep rahmatan lil alamin yang dibawa oleh Islam.
Ada beberapa contoh islamisasi di kepulauan Nusantara, seperti :
1. Islamisasi Kalimantan
Para
ulama awal yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader
dakwah yang terus menerus mengalir. Islam masuk ke Kalimantan atau yang
lebih dikenal dengan Borneo kala itu. Di pulau ini, ajaran Islam masuk dari dua pintu.
Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo
adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak
dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat
dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan.
Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan
ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan
banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya
melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah
satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari. (Baca: Empat Sekawan
Ulama Besar)
2. Islamisasi Sulawesi
Ribuan pulau yang ada di Indonesia,
sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas
motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan.
Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes
atau Sulawesi.
Menurut
catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang
ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di
beberapa daerah. Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus
berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa yang beribu negeri
di Makassar.
Raja Goa
pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaidin al Awwal dan Perdana
Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa pada tahun 1603. Sebelumnya,
dakwah Islam telah sampai pula pada ayahanda Sultan Alaidin yang
bernama Tonigallo dari Sultan Ternate yang lebih dulu memeluk Islam.
Namun Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam, ia merasa kerajaannya
akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate.
Beberapa ulama Kerajaan Goa
di masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas
dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk
Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para
ulama di atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh
asal Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat
dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan
perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng,
Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo.
3. Islamisasi Maluku
Kepulauan
Maluku yang terkenal kaya dengan hasil bumi yang melimpah membuat
wilayah ini sejak zaman antik dikenal dan dikunjungi para pedagang
seantero dunia. Karena status itu pula Islam lebih dulu mampir ke Maluku
sebelum datang ke Makassar dan kepulauan-kepulauan lainnya.
Kerajaan
Ternate adalah kerajaan terbesar di kepulauan ini. Islam masuk ke
wilayah ini sejak tahun 1440. Sehingga, saat Portugis mengunjungi
Ternate pada tahun 1512, raja ternate adalah seorang Muslim, yakni
Bayang Ullah. Kerajaan lain yang juga menjadi representasi Islam di
kepulauan ini adalah Kerajaan Tidore yang wilayah teritorialnya cukup
luas meliputi sebagian wilayah Halmahera, pesisir Barat kepulauan Papua dan sebagian kepulauan Seram.
Ada
juga Kerajaan Bacan. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja
Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun 1521. Di tahun yang sama
berdiri pula Kerajaan Jailolo yang juga dipengaruhi oleh ajaran-ajaran
Islam dalam pemerintahannya.
4. Islamisasi Papua
Beberapa
kerajaan di kepulauan Maluku yang wilayah teritorialnya sampai di pulau
Papua menjadikan Islam masuk pula di pulau Cendrawasih ini. Banyak
kepala-kepala suku di wilayah Waigeo, Misool dan beberapa daerah lain
yang di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan. Pada periode ini
pula, berkat dakwah yang dilakukan kerajaan Bacan, banyak kepala-kepala
suku di Pulau Papua memeluk Islam. Namun, dibanding wilayah lain,
perkembangan Islam di pulau hitam ini bisa dibilang tak terlalu besar.
5. Islamisasi Nusa Tenggara
Islam masuk ke wilayah Nusa Tenggara bisa dibilang sejak awal abad ke-16. Hubungan Sumbawa yang baik dengan Kerajaan Makassar
membuat Islam turut berlayar pula ke Nusa Tenggara. Sampai kini jejak
Islam bisa dilacak dengan meneliti makam seorang mubaligh asal Makassar
yang terletak di kota
Bima. Begitu juga dengan makam Sultan Bima yang pertama kali memeluk
Islam. Bisa disebut, seluruh penduduk Bima adalah para Muslim sejak
mula.
Selain Sumbawa, Islam juga masuk ke Lombok. Orang-orang Bugis datang ke Lombok dari Sumbawa dan mengajarkan Islam di sana. Hingga kini, beberapa kata di suku-suku Lombok banyak kesamaannya dengan bahasa Bugis.
Dengan data dan perjalanan Islam di atas, sesungguhnya bisa ditarik kesimpula, bahwa Indonesia adalah negeri Islam. Bahkan, lebih jauh lagi, jika dikaitkan dengan peran Islam di berbagai kerajaan tersebut di atas, Indonesia telah memiliki cikal bakal atau embrio untuk membangun dan menjadi sebuah negara Islam.sumber : spistai.blogspot.com
Islam di Indonesia baik secara historis maupun sosiologis sangat
kompleks, terdapat banyak masalah, misalnya tentang sejarah dan
perkembangan awal Islam. Oleh karena itu, para sarjana sering berbeda
pendapat. Harus diakui bahwa penulisan sejarah Indonesia diawali oleh
golongan orientalis yang sering ada usaha untuk meminimalisasi peran
Islam, di samping usaha para sarjana Muslim yang ingin mengemukakan
fakta sejarah yang lebih jujur (Sunanto, 2012: 7).
Menurut Suryanegara bahwa ada beberapa teori yang membahas terkait awal mula masuknya Islam di Indonesia. Teori-teori ini mencoba memberikan jawaban atas permasalahan tentang masuknya agama Islam ke Nusantara dengan perbedaan pendapatnya: Pertama, mengenai waktu masuknya agama Islam. Kedua, tentang asal negara yang menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran agama Islam. Ketiga, tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara.
Berikut akan dipaparkan terkait teori masuknya Islam di Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
Pertama, teori Gujarat. Menurut Suryanegara (1996: 75) bahwa peletak dasar teori ini kemungkinan adalah Snouck Hurgronje dalam bukunya “L’ Arabie et les Indes Neerlandaises, atau Revue de I’Histoire des Religious.” Snouck Hurgronje lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.
Suryanegara (1996: 75-76) mengutip pendapat W.F. Stutterheim dalam bukunya “De Islam en Zijn Komst In de Archipel” yang menyatakan bahwa masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke 13. Pendapatnya juga di dasarkan pada bukti batu nisan Sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik As-Saleh yang wafat pada 1297. Selanjutnya ditambahkan tentang asal negara yang mempengaruhi masuknya agama Islam ke Nusantara adalah Gujarat. Dengan alasan bahwa agama Islam disebarkan melalui jalan dagang antara Indonesia-Cambay (Gujarat)- Timur Tengah-Eropa. Sama halnya dengan pendapat W.F. Stutterheim, Snouck Hurgronje berpendapat pula bahwa awal masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke 13 M dari Gujarat.
Kedua, teori Makkah. Menurut Hamka sebagaimana dikutip oleh Sunanto (2012: 8-9) dalam bukunya bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah (kurang lebih abad ke-7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulia jauh sebelum abad ke-13 (yaitu sudah ada sejak abad ke-7 M) melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasi Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat. Senada dengan Suryanegara dalam Api Sejarah (2012: 99) sebagaimana mengutip pendapat Hamka bahwa masuknya Islam ke Nusantara Indonesia terjadi pada abad ke-7 M. Dalam berita Cina Dinasti Tang menuturkan ditemuinya daerah hunian wirausahawan Arab Islam di pantai Barat Sumatera maka dapat disimpulkan Islam masuk dari daerah asalnya Arab. Dibawa oleh wiraniagawan Arab. Sedangkan kesultanan Samudera Pasai yang didirikan pada 1275 M atau abad ke-13 M, bukan awal masuknya agama Islam, melainkan perkembangan agama Islam.
Menurut Matta (2014: 34) dalam bukunya “gelombang ketiga Indonesia” mengatakan bahwa para ahli sejarah mencatat ada dua gelombang masuknya Islam di Nusantara, yaitu abad ke-7 dan abad ke-13. Agama ini di bawah oleh pedagang dari Arab yang menetap di kota-kota pelabuhan Nusantara. Pada abad ke-8 telah berdiri perkampungan muslim di pesisir Sumatera. Pada awalnya, Sumatera (dan Nusantara pada umumnya) hanyalah persinggahan para pedagang Arab menuju Tiongkok dan Jawa. Pada abad ke-13, Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara, disusul berdirinya kerajaan Demak pada abad ke-15. Awalnya, Raden Fatah adalah wakil kerajaan Majapahit di daerah itu yang kemudian dia memutuskan masuk Islam dan mendirikan kerajaan sendiri.
J.C. Van Leur dalam bukunya “Indonesia: Trade and Society” menyatakan bahwa pada 674 M di pantai Barat Sumatera telah terdapat perkampungan (Koloni) Arab Islam. Dengan pertimbangan bangsa Arab telah mendirikan perkampungan perdagangannya di Kanton pada abad ke-4. Perkampungan perdagangan ini mulai dibicarakan lagi pada 618 M dan 626 M. Tahun-tahun berikutnya perkembangan perkampungan perdagangan ini mulai mempraktikan ajaran agama Islam. Hal ini mempengaruhi pula perkampungan Arab yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara. Dari keterangan J.C. Van Leur ini masuknya Islam ke Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan telah terjadi sejak abad ke-7. Sedangkan abad ke-13 merupakan saat perkembangan Islam (Suryanegara, 1996: 76).
Sejumlah ahli Indonesia dan beberapa ahli Malaysia mendukung “teori Arab” dan mazhab tersebut. Dalam seminar-seminar tentang kedatangan Islam ke Indonesia yang diadakan pada 1963 dan 1978, disimpulkan bahwa Islam yang datang ke Indonesia langsung dari Arab, bukan dari India. Islam datang pertama kali datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi, bukan abad ke-12 atau ke-13 M. (Huda, 2007: 36).
Ketiga, Teori Persia. Menurut Suryanegara (1996: 90) bahwa pembangunan teori Persia ini di Indonesia adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masuknya agama Islam ke Nusantara berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Mazhab Syafi’inya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.
Menurut Suryanegara kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain:
Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas kematian syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husain. Di Sumatera tengah sebelah Barat, disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husain untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perairan lainnya. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa Arab (Suryanegara, 1996: 90).
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310 H/ 922 M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya (Suryanegara, 1996: 90).
Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Qur’an tingkat awal:
Keempat, nisan pada makam Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini, teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat (Suryanegara, 1996: 91).
Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap Mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang paling utama di daerah Malabar. Dalam masalah mazhab Syafi’i, Hoesein Djajadiningrat mempunyai kesamaan dengan G.E. Morrison, tetapi berbeda dengan teori Makkah yang dikemukakan oleh Hamka di depan Hoesein Djajadiningrat di satu pihak melihat salah satu budaya Islam di Indonesia kemudian dikaitkan dengan kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang Mazhab Syafi’i terhenti ke Malabar, tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat mazhab Syafi’i di Makkah (Suryanegara, 1996: 91).
Sunanto (2012: 10-12) menyebutkan beberapa saluran-saluran yang menjadi media tersebarnya Islam di Indonesia, di antaranya sebagai berikut:
Menurut Suryanegara bahwa ada beberapa teori yang membahas terkait awal mula masuknya Islam di Indonesia. Teori-teori ini mencoba memberikan jawaban atas permasalahan tentang masuknya agama Islam ke Nusantara dengan perbedaan pendapatnya: Pertama, mengenai waktu masuknya agama Islam. Kedua, tentang asal negara yang menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran agama Islam. Ketiga, tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara.
Berikut akan dipaparkan terkait teori masuknya Islam di Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
Pertama, teori Gujarat. Menurut Suryanegara (1996: 75) bahwa peletak dasar teori ini kemungkinan adalah Snouck Hurgronje dalam bukunya “L’ Arabie et les Indes Neerlandaises, atau Revue de I’Histoire des Religious.” Snouck Hurgronje lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.
Suryanegara (1996: 75-76) mengutip pendapat W.F. Stutterheim dalam bukunya “De Islam en Zijn Komst In de Archipel” yang menyatakan bahwa masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke 13. Pendapatnya juga di dasarkan pada bukti batu nisan Sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik As-Saleh yang wafat pada 1297. Selanjutnya ditambahkan tentang asal negara yang mempengaruhi masuknya agama Islam ke Nusantara adalah Gujarat. Dengan alasan bahwa agama Islam disebarkan melalui jalan dagang antara Indonesia-Cambay (Gujarat)- Timur Tengah-Eropa. Sama halnya dengan pendapat W.F. Stutterheim, Snouck Hurgronje berpendapat pula bahwa awal masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke 13 M dari Gujarat.
Kedua, teori Makkah. Menurut Hamka sebagaimana dikutip oleh Sunanto (2012: 8-9) dalam bukunya bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah (kurang lebih abad ke-7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulia jauh sebelum abad ke-13 (yaitu sudah ada sejak abad ke-7 M) melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasi Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat. Senada dengan Suryanegara dalam Api Sejarah (2012: 99) sebagaimana mengutip pendapat Hamka bahwa masuknya Islam ke Nusantara Indonesia terjadi pada abad ke-7 M. Dalam berita Cina Dinasti Tang menuturkan ditemuinya daerah hunian wirausahawan Arab Islam di pantai Barat Sumatera maka dapat disimpulkan Islam masuk dari daerah asalnya Arab. Dibawa oleh wiraniagawan Arab. Sedangkan kesultanan Samudera Pasai yang didirikan pada 1275 M atau abad ke-13 M, bukan awal masuknya agama Islam, melainkan perkembangan agama Islam.
Menurut Matta (2014: 34) dalam bukunya “gelombang ketiga Indonesia” mengatakan bahwa para ahli sejarah mencatat ada dua gelombang masuknya Islam di Nusantara, yaitu abad ke-7 dan abad ke-13. Agama ini di bawah oleh pedagang dari Arab yang menetap di kota-kota pelabuhan Nusantara. Pada abad ke-8 telah berdiri perkampungan muslim di pesisir Sumatera. Pada awalnya, Sumatera (dan Nusantara pada umumnya) hanyalah persinggahan para pedagang Arab menuju Tiongkok dan Jawa. Pada abad ke-13, Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara, disusul berdirinya kerajaan Demak pada abad ke-15. Awalnya, Raden Fatah adalah wakil kerajaan Majapahit di daerah itu yang kemudian dia memutuskan masuk Islam dan mendirikan kerajaan sendiri.
J.C. Van Leur dalam bukunya “Indonesia: Trade and Society” menyatakan bahwa pada 674 M di pantai Barat Sumatera telah terdapat perkampungan (Koloni) Arab Islam. Dengan pertimbangan bangsa Arab telah mendirikan perkampungan perdagangannya di Kanton pada abad ke-4. Perkampungan perdagangan ini mulai dibicarakan lagi pada 618 M dan 626 M. Tahun-tahun berikutnya perkembangan perkampungan perdagangan ini mulai mempraktikan ajaran agama Islam. Hal ini mempengaruhi pula perkampungan Arab yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara. Dari keterangan J.C. Van Leur ini masuknya Islam ke Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan telah terjadi sejak abad ke-7. Sedangkan abad ke-13 merupakan saat perkembangan Islam (Suryanegara, 1996: 76).
Sejumlah ahli Indonesia dan beberapa ahli Malaysia mendukung “teori Arab” dan mazhab tersebut. Dalam seminar-seminar tentang kedatangan Islam ke Indonesia yang diadakan pada 1963 dan 1978, disimpulkan bahwa Islam yang datang ke Indonesia langsung dari Arab, bukan dari India. Islam datang pertama kali datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi, bukan abad ke-12 atau ke-13 M. (Huda, 2007: 36).
Ketiga, Teori Persia. Menurut Suryanegara (1996: 90) bahwa pembangunan teori Persia ini di Indonesia adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masuknya agama Islam ke Nusantara berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Mazhab Syafi’inya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.
Menurut Suryanegara kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain:
Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas kematian syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husain. Di Sumatera tengah sebelah Barat, disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husain untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perairan lainnya. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa Arab (Suryanegara, 1996: 90).
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310 H/ 922 M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya (Suryanegara, 1996: 90).
Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Qur’an tingkat awal:
Bahasa Iran | Bahasa Arab |
Jabar- Zabar | Fathah |
Jer- Ze-er | Kasrah |
P’es- Py’es | Dhammah |
Keempat, nisan pada makam Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini, teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat (Suryanegara, 1996: 91).
Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap Mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang paling utama di daerah Malabar. Dalam masalah mazhab Syafi’i, Hoesein Djajadiningrat mempunyai kesamaan dengan G.E. Morrison, tetapi berbeda dengan teori Makkah yang dikemukakan oleh Hamka di depan Hoesein Djajadiningrat di satu pihak melihat salah satu budaya Islam di Indonesia kemudian dikaitkan dengan kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang Mazhab Syafi’i terhenti ke Malabar, tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat mazhab Syafi’i di Makkah (Suryanegara, 1996: 91).
Sunanto (2012: 10-12) menyebutkan beberapa saluran-saluran yang menjadi media tersebarnya Islam di Indonesia, di antaranya sebagai berikut:
- Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran.
- Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang. Para mubaligh itu bisa jadi juga para sufi pengembara.
- Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang Muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga Muslim dan masyarakat Muslim. Dengan perkawinan itu secara tidak langsung orang muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat kharisma kebangsawanan. Lebih-lebih apabila pedagang besar kawin dengan putri raja, maka keturunannya akan menjadi pejabat birokrasi, putra mahkota kerajaan, syahbandar, qadi, dan lain-lain.
- Pendidikan, setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandar seperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat-pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan da’wah Islam di kerajaan Samudera Pasai berperan sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan mengirim mubaligh lokal, di antaranya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa. Selain menjadi pusat-pusat pendidikan, yang disebut pesantren, di Jawa juga merupakan markas penggemblengan kader-kader politik. Misalnya, Raden Fatah, Raja Islam pertama Demak, adalah santri pesantren Ampel Denta; Sunan Gunung Jati, Sultan Cirebon pertama adalah didikan pesantren Gunung Jati dengan Syaikh Dzatu Kahfi; Maulana Hasanudiidn yang diasuh ayahnya Sunan Gunung Jati yang kelak menjadi Sunan Banten pertama.
- Tasawuf dan tarekat. Sudah diterangkan bahwa bersamaan dengan pedagang, datang pula para ulama, da’i, dan sufi pengembara. Para ulama atau sufi itu ada yang kemudian diangkat menjadi penasihat dan atau pejabat agama di kerajaan. Di Aceh ada Syaikh Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, Abdul Rauf Singkel. Demikian juga kerajaan-kerajaan di Jawa mempunyai penasihat yang bergelar wali, yang terkenal adalah Wali Songo.
- Saluran yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni. Wali Songo, terutama Sunan Kali Jaga, mempergunakan banyak cabang seni untuk Islamisasi, seni arsitektur, gamelan, wayang, nyayian, dan seni busana.
Selasa, 14 April 2015
Sejarah Lahirnya Islam di Indonesia
Islam merupakan salah satu agama besar di dunia saat ini. Agama ini lahir dan berkembang di Tanah Arab. Pendirinya ialah Muhammad. Agama ini lahir salah satunya sebagai reaksi atas rendahnya moral manusia pada saat itu. Manusia pada saat itu hidup dalam keadaan moral yang rendah dan kebodohan (jahiliah). Mereka sudah tidak lagi mengindahkan ajaran-ajaran nabi-nabi sebelumnya. Hal itu menyebabkan manusia berada pada titik terendah. Penyembahan berhala, pembunuhan, perzinahan, dan tindakan rendah lainnya merajalela.Mode Fashion OkRek
Islam mulai disiarkan sekitar tahun 612 di Mekkah. Karena penyebaran agama baru ini mendapat tantangan dari lingkungannya, Muhammad kemudian pindah (hijrah) ke Madinah pada tahun 622. Dari sinilah Islam berkembang ke seluruh dunia.
Muhammad mendirikan wilayah kekuasaannya di Madinah. Pemerintahannya didasarkan pada pemerintahan Islam. Muhammad kemudian berusaha menyebarluaskan Islam dengan memperluas wilayahnya.
Setelah Muhammad wafat pada tahun 632, proses menyebarluaskan Islam dilanjutkan oleh para kalifah yang ditunjuk Muhammad.
Sampai tahun 750, wilayah Islam telah meliputi Jazirah Arab, Palestina, Afrika Utara, Irak, Suriah, Persia, Mesir, Sisilia, Spanyol, Asia Kecil, Rusia, Afganistan, dan daerah-daerah di Asia Tengah. Pada masa ini yang memerintah ialah Bani Umayyah dengan ibu kota Damaskus.
Pada tahun 750, Bani Umayyah dikalahkan oleh Bani Abbasiyah yang kemudian memerintah sampai tahun 1258 dengan ibu kota di Baghdad. Pada masa ini, tidak banyak dilakukan perluasan wilayah kekuasaan. Konsentrasi lebih pada pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban Islam. Baghdad menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Setelah pemerintahan Bani Abbasiyah, kekuasaan Islam terpecah. Perpecahan ini mengakibatkan banyak wilayah yang memisahkan diri. Akibatnya, penyebaran Islam dilakukan secara perorangan. Agama ini dapat berkembang dengan cepat karena Islam mengatur hubungan manusia dan TUHAN. Islam disebarluaskan tanpa paksaan kepada setiap orang untuk memeluknya.
Proses Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Indonesia
Sejarah mencatat bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam persebaran agama dan kebudayaan Islam. Letak Indonesia yang strategis menyebabkan timbulnya bandarbandar perdagangan yang turut membantu mempercepat persebaran tersebut. Di samping itu, cara lain yang turut berperan ialah melalui dakwah yang dilakukan para mubaligh.
a. Peranan Kaum Pedagang
Seperti halnya penyebaran agama Hindu-Buddha, kaum pedagang memegang
peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam, baik pedagang dari luar Indonesia
maupun para pedagang Indonesia.
Para pedagang itu datang dan berdagang di pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit para pedagang. Di samping itu, bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai juga didatangi para pedagang.
Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama, untuk menunggu datangnya angin musim. Pada saat menunggu inilah, terjadi pembauran antarpedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat-istiadat, budaya bahkan agama. Bukan hanya melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui perkawinan.
Di antara para pedagang tersebut, terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama Islam. Mereka mengenalkan agama dan budaya Islam kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Maka, mulailah ada penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam. Lama-kelamaan penganut agama Islam makin banyak. Bahkan kemudian berkembang perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir.
Penduduk setempat yang telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam kepada sesama pedagang, juga kepada sanak familinya. Akhirnya, Islam mulai berkembang di masyarakat Indonesia. Di samping itu para pedagang dan pelayar tersebut juga ada yang menikah dengan penduduk setempat sehingga lahirlah keluarga dan anak-anak yang Islam.
Hal ini berlangsung terus selama bertahun-tahun sehingga akhirnya muncul sebuah komunitas Islam, yang setelah kuat akhirnya membentuk sebuah pemerintahaan Islam. Dari situlah lahir kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.
b. Peranan Bandar-Bandar di Indonesia
Bandar merupakan tempat berlabuh kapal-kapal atau persinggahan kapal-kapal dagang. Bandar juga merupakan pusat perdagangan, bahkan juga digunakan sebagai tempat tinggal para pengusaha perkapalan. Sebagai negara kepulauan yang terletak pada jalur perdagangan internasional, Indonesia memiliki banyak bandar. Bandar-bandar ini memiliki peranan dan arti yang penting dalam proses masuknya Islam ke Indonesia.
Di bandar-bandar inilah para pedagang beragama Islam memperkenalkan Islam kepada para pedagang lain ataupun kepada penduduk setempat. Dengan demikian, bandar menjadi pintu masuk dan pusat penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kalau kita lihat letak geografis kota-kota pusat kerajaan yang bercorak Islam pada umunya terletak di pesisir-pesisir dan muara sungai.
Dalam perkembangannya, bandar-bandar tersebut umumnya tumbuh menjadi kota bahkan ada yang menjadi kerajaan, seperti Perlak, Samudra Pasai, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore. Banyak pemimpin bandar yang memeluk agama Islam. Akibatnya, rakyatnya pun kemudian banyak memeluk agama Islam.
Peranan bandar-bandar sebagai pusat perdagangan dapat kita lihat jejaknya. Para pedagang di dalam kota mempunyai perkampungan sendiri-sendiri yang penempatannya ditentukan atas persetujuan dari penguasa kota tersebut, misalnya di Aceh, terdapat perkampungan orang Portugis, Benggalu Cina, Gujarat, Arab, dan Pegu.
Begitu juga di Banten dan kota-kota pasar kerajaan lainnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kota-kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam memiliki ciri-ciri yang hampir sama antara lain letaknya di pesisir, ada pasar, ada masjid, ada perkampungan, dan ada tempat para penguasa (sultan).
c. Peranan Para Wali dan Ulama
Salah satu cara penyebaran agama Islam ialah dengan cara mendakwah. Di samping sebagai pedagang, para pedagang Islam juga berperan sebagai mubaligh. Ada juga para mubaligh yang datang bersama pedagang dengan misi agamanya. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat objek dakwah, dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.
Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat sultan.
Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah seperti berikut.
(1) Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
(2) Sunan Ampel (Raden Rahmat). Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.
(3) Sunan Derajad (Syarifudin). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya. Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
(4) Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.
(5) Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan lingkungan setempat.
(6) Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain.
(7) Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.
(8) Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.
(9) Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.
3. Kapan dan dari mana Islam Masuk Indonesia
Sejarah mencatat bahwa sejak awal Masehi, pedagang-pedagang dari India dan Cina sudah memiliki hubungan dagang dengan penduduk Indonesia. Namun demikian, kapan tepatnya Islam hadir di Nusantara?
Masuknya Islam ke Indonesia menimbulkan berbagai teori. Meski terdapat beberapa pendapat mengenai kedatangan agama Islam di Indonesia, banyak ahli sejarah cenderung percaya bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7 berdasarkan Berita Cina zaman Dinasti Tang. Berita itu mencatat bahwa pada abad ke-7, terdapat permukiman pedagang muslim dari Arab di Desa Baros, daerah pantai barat Sumatra Utara.
Abad ke-13 Masehi lebih menunjuk pada perkembangan Islam bersamaan dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Pendapat ini berdasarkan catatan perjalanan Marco Polo yang menerangkan bahwa ia pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 dan berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam.
Bukti yang turut memperkuat pendapat ini ialah ditemukannya nisan makam Raja Samudra Pasai, Sultan Malik al-Saleh yang berangka tahun 1297.
Jika diurutkan dari barat ke timur, Islam pertama kali masuk di Perlak, bagian utara Sumatra. Hal ini menyangkut strategisnya letak Perlak, yaitu di daerah Selat Malaka, jalur laut perdagangan internasional dari barat ke timur. Berikutnya ialah Kerajaan Samudra Pasai.
Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit.
Di Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh bangsawan Arab bernama Sultan Syarif Abdurrahman pada abad ke-18. Di hulu Sungai Pawan, di Ketapang, Kalimantan Barat ditemukan pemakaman Islam kuno. Angka tahun yang tertua pada makam-makam tersebut adalah tahun 1340 Saka (1418 M). Jadi, Islam telah ada sebelum abad ke-15 dan diperkirakan berasal dari Majapahit karena bentuk makam bergaya Majapahit dan berangka tahun Jawa kuno. Di Kalimantan Timur, Islam masuk melalui Kerajaan Kutai yang dibawa oleh dua orang penyiar agama dari Minangkabau yang bernama Tuan Haji Bandang dan Tuan Haji Tunggangparangan. Di Kalimantan Selatan, Islam masuk melalui Kerajaan Banjar yang disiarkan oleh Dayyan, seorang khatib (ahli khotbah) dari Demak. Di Kalimantan Tengah, bukti kedatangan Islam ditemukan pada masjid Ki Gede di Kotawaringin yang bertuliskan angka tahun 1434 M.
Di Sulawesi, Islam masuk melalui raja dan masyarakat Gowa-Tallo. Hal masuknya Islam ke Sulawesi ini tercatat pada Lontara Bilang. Menurut catatan tersebut, raja pertama yang memeluk Islam ialah Kanjeng Matoaya, raja keempat dari Tallo yang memeluk Islam pada tahun 1603. Adapun penyiar agama Islam di daerah ini berasal antara lain dari Demak, Tuban, Gresik, Minangkabau, bahkan dari Campa. Di Maluku, Islam masuk melalui bagian utara, yakni Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Diperkirakan Islam di daerah ini disiarkan oleh keempat ulama dari Irak, yaitu Syekh Amin, Syekh Mansyur, Syekh Umar, dan Syekh Yakub pada abad ke-8.
sumber : mengerjakantugas.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)